Rabu, 03 November 2010

ETIKA DALAM PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA

ETIKA DALAM PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA

Pendahuluan

Dewasa ini administrasi publik menghadapi tantangan yang cukup pelik sebagai akibat dari adanya tuntutan masyarakat yang semakin beragam, sementara itu sumber daya yang dimiliki sangat terbatas baik dalam jumlah maupun kualitasnya. Oleh sebab itu administrasi publik dituntut untuk mampu menjawab berbagai tantangan dari persoalan-persoalan yang ada dengan menempuh beragam cara yang dapat dilakukannya.

Salah satu cara yang dapat ditempuh guna menjawab tantangan itu adalah dengan melakukan reformasi administrasi publik. Reformasi administrasi publik dilakukan pada berbagai aspek yang melingkupinya. Salah satu aspek yang penting diperhatikan dalam proses reformasi administrasi publik adalah aspek etika dalam menjalankan tugas pelayanan kepada masyarakat atau yang lebih dikenal sebagai etika dalam pelayanan publik.

Etika dalam pelayanan publik bagi aparatur pemerintah baik di pusat maupun di daerah sering kurang tersentuh dalam kajian-kajian bidang administrasi publik yang dilakukan selama ini, padahal kinerja pelayanan publik sangat ditentukan oleh etika para aparatur yang melaksanakan pelayanan tersebut. Bila aparatur pemerintah memahami dan menerapkan etika dalam memberikan pelayanan secara benar maka kinerja pelayanan diharapkan akan meningkat dan memenuhi keinginan masyarakat yang dilayani. Sebaliknya, apabila etika tersebut tidak dipahami dan dilaksanakan secara benar maka kinerja pelayanan menjadi buruk dan akan timbul banyak komplain dari masyarakat yang dilayani.

Realitas di lapangan menunjukkan bahwa kinerja pelayanan publik yang diberikan oleh aparatur pemerintah pusat dan daerah kepada masyarakat belum berakar pada norma-norma etika yang benar. Fenomena lain yang terlihat di lapangan menunjukkan bahwa pola pelayanan aparat pemerintah cenderung sentralistik dan didominasi pendekatan kekuasaan, sehingga kurang peka terhadap perkembangan ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat, yang seharusnya terbuka, profesional dan akuntabel. Implikasi dari ketidakhadiran (absence) etika dalam pelayanan publik yang paling dirasakan masyarakat adalah perilaku aparatur yang diskriminatif dan tidak efisien.

Berdasarkan uraian pada latar belakang mengenai kondisi kinerja pelayanan publik di pusat dan daerah maka dapat dirumuskan permasalahan yang dibahas adalah: Bagaimanakah implementasi etika dalam penyelenggaraan pelayanan publik oleh aparatur pemerintah di pusat dan di daerah saat ini?

Implementasi etika dalam penyelenggaraan pelayanan publik oleh aparatur pemerintah di pusat dan di daerah saat ini.

Uraian mengenai etika dalam penyelenggaraan pelayanan publik dalam tulisan ini membahas: (1) Faktor yang mempengaruhi implementasi etika dalam pelayanan publik di Indonesia saat ini, dan (2) Kondisi implementasi etika dalam pelayanan publik di Pusat dan di Daerah.

Faktor yang mempengaruhi Implementasi Etika dalam Pelayanan Publik di Indonesia Saat Ini

Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi etika dalam pelayanan publik pada instansi-instansi pemerintah di Indonesia menurut penulis dapat diidentifikasi sebagai berikut:

Pertama, dalam praktek penyelenggaraan pelayanan publik di instansi-instansi pemerintah khususnya yang menyelenggarakan pelayanan secara langsung kepada masyarakat baik individu maupun badan, petugas-petugas pemberi pelayanan memiliki dua sikap yang berbeda, yaitu sikap yang absolutis dan sikap yang realitis.

Kedua, Sikap absolutis muncul berkaitan dengan keyakinan petugas yang bersangkutan bahwa dalam pelayanan publik dikenal norma-norma yang bersifat

Absolute yang cenderung diterima semua tempat dan bersifat universal (universal rules). Petugas yang memiliki sikap seperti ini akan melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya berdasarkan nilai-nilai yang diyakininya baik dan bersifat umum. Petugas yang termasuk kelompok ini adalah petugas yang memiliki keyakinan profesi, keyakinan agama dan nilai-nilai kemanusiaan yang kuat. Petugas yang memiliki sikap absolutis ini akan bersikap tegas dan cenderung kaku (tidak memiliki toleransi terhadap penyimpangan terhadap prosedur yang berlaku dan menyalahi nilai-nilai universal yang diyakininya). Sikap realistis muncul pada petugas yang memiliki keyakinan yang berbeda dengan keyakinan absolutis. Mereka beranggapan bahwa kebenaran itu bersifat relatif sesuai dengan kondisi yang ada. Dengan kata lain bahwa kebenaran itu memiliki konsekuensi yang baik berdasarkan kenyataan lapangan. Petugas yang memiliki keyakinan seperti ini beranggapan bahwa norma yang bersifat universal itu belum tentu baik apabila tidak sesuai dengan kondisi yang ada. Dengan demikian akan terjadi kecenderungan untuk mengambil keputusan yang dianggapnya benar pada saat melaksanakan tugasnya sesuai dengan kondisi yang ada akan lebih sering terjadi. Hal inilah yang membuka celah terjadinya ”kerjasama” yang menguntungkan dengan ”penerima layanan” apabila petugas tidak memperhatikan aturan main yang berlaku.

Ketiga, belum ada kebenaran yang hakiki terhadap etika dalam penyelenggaraan pelayanan publik baik bagi petugas pemberi layanan maupun masyarakat sebagai penerima layanan. Kebenaran dalam beretika dalam penyelenggaraan pelayanan publik masih dipengaruhi sikap yang

didasarkan pada keyakinan pemberi pelayanan terhadap etika pelayanan publik dan keyakinan masyarakat penerima layanan publik. Kondisi ini dapat diketahui dari kenyataan di lapangan bahwa ”kebenaran dalam beretika” tergantung dari kepentingan petugas dan kepentingan individu masyarakat penerima layanan. Apabila kedua kepentingan terakomodasi dalam proses pelayanan maka pelayanan tersebut dianggap telah memenuhi ”kebenaran etika”. Padahal dapat saja ”kebenaran dalam beretika” tersebut melanggar rasa keadilan terhadap anggota masyarakat yang lain atau bahkan masyarakat penerima layanan secara umum. Kondisi ini muncul karena pelanggaran ”etika” hanya memiliki sanksi sosial saja yang sering kali tidak efektif untuk mengubah tingkah laku melanggar dari petugas pemberi layanan ataupun masyarakat penerima layanan.

Kondisi Implementasi Etika dalam Pelayanan Publik di Pusat dan di Daerah

Dengan bertitik tolak pada faktor yang mempengaruhi implementasi etika dalam penyelenggaraan pelayanan publik maka dapat dirumuskan analisis kondisi implementasi etika dalam pelayanan publik di pusat dan di daerah adalah sebagai berikut:

Pertama, dalam penyelenggaraan pelayanan publik masih belum didukung dengan kode etik profesi yang memadai. Penyelenggaraan pelayanan publik mencakup berbagai profesi sesuai dengan jenis pelayanan, misalnya pelayanan di bidang kesehatan menyangkut profesi dokter dan profesi perawat (tenaga medis), profesi apoteker, dan profesi lainnya. Berdasarkan pengamatan hasil telaah literatur dan pengamatan lapangan diketahui bahwa masih terbatasnya kode etik profesi yang dimiliki oleh petugas yang melaksanakan pelayanan publik atau dengan kata lain masih banyak profesi yang belum memiliki kode etik dan hanya beberapa profesi yang memiliki kode etik seperti dokter, akuntan, pengacara. Meskipun secara umum para petugas penyelenggara pelayanan publik sebagai pegawai negeri telah memiliki kode etik pegawai negeri. Kode etik pegawai negeri memiliki sifat yang umum (general) sehingga belum dapat dijadikan acuan bagi petugas penyelenggara pelayanan yang memiliki profesi yang khusus (khas) yang bersifat teknis. Oleh sebab itu kode etik pegawai negeri perlu didukung dengan kode etik profesi. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa narasumber di lokasi penelitian menekankan pentingnya kode etik profesi dalam rangka mendukung penyelenggaraan pelayanan publik. Misalnya nara sumber dari Sulawesi Tengah menyatakan bahwa perlu memberikan memberikan ”bekal etika” (etika profesi) bagi para petugas yang melaksanakan pelayanan publik disamping aturan teknis dalam penyelenggaraan tugas pelayanan yang menjadi tanggung jawabnya. Tak jauh berbeda nara sumber dari Papua menyatakan bahwa kondisi yang ada saat ini adalah PNS belum memiliki code of conduct dan tak diikuti dengan glorifikasi (keakuan) atau sejenis dengan otoriter dalam demokrasi. Aparat terhanyut dalam ”the shadow of system” (kekuatan sistem bayangan) yang mengikis budaya positif yang dimiliki aparatur yang bersangkutan. Hal senada dikemukakan nara sumber dari Gorontalo yang menyatakan bahwa berkaitan dengan etika, di Indonesia, baik di pusat maupun di daerah tidak ada atau kurangnya kode etik yang menjadi dasar birokrasi/aparatur untuk bekerja dalam rangka pelayanan pada masyarakat....etika yang perlu diterapkan dalam berorganisasi adalah etika individu, etika organisasi dan etika profesi. Etika individu menentukan baik atau buruk perilaku orang perorangan dalam hubungannya dengan orang lain. Etika organisasi berfungsi menetapkan parameter dan merinci kewajiban-kewajiban organisasi itu sendiri serta menggariskan konteks tempat keputusan-keputusan etika perorangan itu dibentuk. Etika organisasi sebagai aturan yang dicerminkan dalam struktur organisasi dan fungsi-fungsi serta prosedur, termasuk di dalamnya sistem insentif , disinsentif dan sanksi-sanksi berdasarkan aturan. Etika profesional berlaku dalam suatu kerangka yang diterima oleh semua yang secara hukum atau secara moral mengikat mereka dalam kelompok profesi yang bersangkutan. Ketiga macam etika tersebut idealnya dapat diikuti, dipatuhi dan dijadikan pedoman, pegangan, referensi seseorang dalam melakukan hubungan dengan orang lain dalam organisasi, menjalankan tugas/profesinya. Sementara itu terkait dengan etika profesi, ada beberapa kalangan yang masih memiliki sikap yang menyakini bahwa meskipun belum ada kode etik petugas penyelenggara pelayanan publik (kode etik profesi) tetapi pelayanan publik masih dapat dilaksanakan dengan rambu-rambu nilai-nilai agama dan nilai-nilai Pancasila. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa ketidakadaan kode etik menciptakan peluang bagi petugas untuk mengabaikan etika pelayanan publik atau dengan kata lain tidak ada alat kontrol perilaku petugas penyelenggara pelayanan publik. Kisah yang menarik mengenai pentingnya kode etik profesi terjadi di Sulawesi Tengah tepatnya di Kabupaten Morowali dan Kabupaten Parigimoto. Kabupaten Morowali ini dipimpin oleh seorang Bupati yang (dianggap) tidak memiliki kemapuan. Waktunya sebagian besar dihabiskan di Jakarta, keberadaan di kantor hanya 3 hari dalam seminggu pada jam 6 subuh dan jam 6 sore. Dengan kondisi ini maka pelayanan publik menjadi “lumpuh”. Disamping itu Bupati tidak memiliki hubungan baik sebagai Wakil Bupati yang merupakan wakilnya bila dia berhalangan. Kondisi ini ditengarai merupakan hasil dari proses rekrutmen dari sistem yang tidak baik (garbage in garbage out). Kondisi yang terjadi di Morowali bertentangan dengan kondisi yang terjadi di Kabupaten Parigimoto. Di Kabupaten ini memiliki Bupati yang dianggap memiliki kemampuan. Sebagai ilustrasi Bupati memberikan kemudahan akses kepada nelayan dalam berhubungan dengan Bank, karena apabila nelayan langsung berhubungan dengan pihak Perbankan akan mengalami kesulitan. Kisah di atas menunjukkan bahwa dengan ketidakadaan kode etik profesi sebagai seorang Bupati (penyelenggara pelayanan publik) maka Bupati bisa berperilaku semaunya sendiri tanpa mempedulikan tugasnya kepada masyarakat seperti yang terjadi di Kabupaten Morowali, ataupun sebaliknya Bupati dapat berbuat banyak untuk kepentingan masyarakatnya seperti yang terjadi di Kabupaten Parigimoto.

Penutup

Setelah secara runut kita mengikuti pembahasan mengenai Implementasi Etika dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Indonesia dapat disimpulkan bahwa:

Pertama, penyelenggaraan pelayanan publik baik di pusat maupun di daerah masih belum menerapkan nilai-nilai etika disebabkan adanya pemahaman yang beragam, tidak didukung kebijakan yang memadai, bertentangan dengan nilai budaya lokal, dan bersifat tidak mengikat.

Kedua, Belum ada strategi implementasi yang baku dan memadai dalam pengembangan etika pelayanan publik sehingga etika pelayanan publik yang ada belum mendukung peningkatan kinerja aparatur di pusat dan di daerah. Berdasarkan pembahasan mengenai Implementasi Etika dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Indonesia dapat dirumuskan rerkomendasi yang sekiranya dapat dijadikan bahan masukan dan pertimbangan bagi pengambil kebijakan khususnya dalam menentukan kebijakan implementasi etika dalam pelayanan publik.

Saran :

Pertama, pemerintah perlu menetapkan kebijakan mengenai etika pelayanan publik secara terintegrasi dan lebih operasional yang mampu menciptakan kesepahaman dari aparatur pemerintah pusat dan daerah mengenai bentuk kebijakan etika pelayanan publik serta berlaku bagi aparat yang langsung berhubungan dengan masyarakat dan tidak berlaku bagi aparat yang tidak langsung berhubungan dengan masyarakat.


Sumber :Istyadi Insani dan Tintin Sri Murtinah

http://www.docstoc.com/docs/4825555/Implementasi-Etika-dalam-Penyelenggaraan-Pelayanan-Publik-di-Indonesia